Senin, 14 Juli 2014



PENDAPAT ULAMA BESAR Dalam Al quran.Allah berfirman;
‎وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
(Al-Maidah: 44)
Tafsir :
1. sahabat Ibnu abbas radhiallahu ‘anhu (wafat 78 H) : “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan, sesungguhnya di adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [Al-Maidah : 44] Ini adalah kufur duna kufrin (kufur asghor)” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadroknya 2/342 dan dia berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya, dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342]
2.  Thowus bin Kaisan rahimahullah (wafat 101 H)  menafsirkan Al-maidah ayat 44 ; “Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsirnya 6/256]
3. imam Mujahid rahimahullah (wafat 103 )  : ”Barangsiapa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan dia menolak al-Qur’an maka dia kafir, dzolim dan fasik.” [Mukhtashar tafsir AL-khaazin, 1/310]
4. Ikrimah rahimahullah (wafat 105 h)  : ”barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan juhud/ingkar terhadapnya, maka dia telah kafir. Dan barangsiapa yang mengikrarkan (akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah-pent) tapi dia tidak menjalankannya, maka dia dzolim dan fasik.” [Lihat Mukhtashar tafsir AL-khaazin, 1/310]
5. Atho’ bin Abi Robbah rahimahullah (wafat 167 H) menyebut ayat 44-46 dari surat Al-Maidah dan berkata : “Kufrun duna kufrin, fisqun duna fisqin, dan dhulmun duna dhulmin’’ [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/256]
6. Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam rahimahullah (wafat 224 H)  : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agamanya tetap ada meskipun tercampur dengan dosa-dosa” [Kitabul Iman hlm. 45]
7. Al-Imam Ahmad bin Hanbal  rahimahullah (wafat 241 H): “Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari keimanan”.[Majmu Fatawa 7/254]
8. Imam al-Hafiz Abu Bakar Muhammad bin al-Husein al-Ajurri rahimahullah (wafat 320 H) : “Diantara syubhat Khawarij adalah firman Allah Azza wa Jalla : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah : 44] Mereka membacanya bersama firman Allah : “..namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka”.(QS. Al-An’am : 1). Apabila mereka melihat seorang penguasa yang tidak berhukum dengan kebenaran, mereka berkata : Orang ini telah kafir, maka dia telah mempersekutukan Tuhannya. Oleh karenanya, para pemimpin-pemimpin itu adalah orang-orang musyrik [Asy-Syariah. 1/342]
9. imam Al-Jashshash rahimahullah (wafat 370 H)  : ”Khawarij telah menakwilkan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, meski tanpa adanya pengingkaran” [Ahkamul Quran, 2/534]
10. Al-Imam al-Qodhi Abu Ya’la rahimahullah  (wafat 458 H) : ”khawarij berhyjjah dengan firman Allah ta’ala : ”Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS.Al-Maidah:44). Dzohirnya dalil mereka ini mengharuskan pengafiran para pemimpin yang dzolim, dan ini adalah pendapat khawarij. Padahal yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang yahudi”.[Masaaailil Iman, 340-341].
11. Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (wafat : 463 H) : “Telah sesat sekelompok ahli bida’ dari Khawarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan ayat-ayat di dalam Kitabullah yang tidak atas dhahirnya seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Ma’idah : 44] [At-Tamhid 17/16]
12. al-Imam al-Allamah Abu Muzhoffar as-Samani rahimahullah (wafat 489 H) :  ”Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44). Al-Bara bin Azib berkata (dan ini adalah ucapan al-Hasan) : ”Ayat ini untuk orang-orang musyrikin”. Abdullah bin Abbas berkarta : ”Ayat ini untuk kaum muslimin”. Yang beliau maksud adalah kufur duuna kufrin. Dan ketahuilah, bahwa prang-orang khawarij berdalil dengan ayat ini, mereka mengatakan : ”Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka dia kafir. Sedangkan ahlus sunnah berkata : ”Dia tidak kafir, hanya karena meninggalkan hukum (Allah)”. Ayat ini ada dua penafsiran : Yang pertama maknanya bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan menolak dan juhud/mengingkari, maka dia kafir. Yang kedua maknanya, orang yang tidak berhukum dengan semua hukum Allah maka dia kafir. Orang kafir adalah yang meninggalkan semua hukum Allah, berlainan dengan orang muslim” [Tafsir Abi Muzhoffar As-Sam’ani, 2/42]
13.  Imam Al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) :”Para ulama berkata : ”Ini jika dia membantah hukum Allah dalam keadaan terang-terangan(tanpa adanya syubhat) dan sengaja. Adapun yang masih tersembunyi (ada syubhat)baginya atau salah dalam penafsiran atau keliru atau dengan takwilan-takwilan (alasan-alasan yang di-buat-buat) maka tidak kafir” [Ma’alimut Tanzil (2/41)]
14. imam ibnul jauzi rahimahullah (wafat 597 H) : ” Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya – tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu zhalim dan fasiq.Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu Zhalim dan fasiq” [ Zaadul-Masiir 2/366]
[lihat Zaadul-Masiir 2/366]
15. Imam Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini. Berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan: ”Ayat ini umum mencakup setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan apakah dari kalangan muslimin , Yahudi ataupun orang-orang kafir”. Yakni jika menentang dengan keyakinannya dan menghalalkannya. Adapun jika dia melakukannya dengan tetap meyakini bahwa dia telah melanggar keharaman maka dia adalah orang-orang fasik dari kalangan muslimin. Urusannya diserahkan kepada Allah, kalau Allah kehendaki Allah ampuni dia dan kalau Allah kehendaki Allah hukum dia. Dalam satu riwayat Ibnu Abbas mengatakan: ”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang kafir”. [Al-Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz VI, hal. 190]
16. imam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) : “Kapan saja seseorang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau dia merubah syariat yang
telah disepakati, maka dia kafir, murtad menurut kesepakatan para ulama. Dari sinilah turun ayat -menurut salah satu dari dua penafsiran- : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah :44) maksudnya : Yang menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah.”
[Majmu’ Fatawa 3/267- 268]
17. imam Abu Hayyan rahimahullah (wafat 745 H) : ”Khawarij berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat kepada Allah itu kafir. Mereka mengatakan : Ayat ini adalah nash untuk setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bahwa dia itu kafir. [Al-Bahrul Nuhith, 3/493]
18. imam Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat 751 H)  : ”Yang benar adalah bahwa berhukum degan selain yang Allah subhanahu wata’ala turunkan bisa menyebabkan dua jenis kekufuran, kufur asghar atau kufur akbar sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia masih tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan tetapi dia menyelisihinya dengan bermaksiat dalam keadaan tetap mengakuinya, maka dia pantas mendapat adzab namun ini adalah kufur kecil.
Adapun jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu adalah tidak wajib, dia bebas memilih padahal dia yakin itu adalah hukum Allah subhanahu wata’ala maka dia adalah kafir dengan kufur akbar. Sedangkan orang yang bodoh atau keliru maka dia adalah orang yang salah dan dihukumi sebagaimana hukumnya orang-orang yang keliru”
[Madarikus shalikin Juz I/335]
19. imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat 774 H)  : “Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (jelas), yang meliputi semua kebaikan dan yang melarang dari segala kejelekan, lalu dia condong kepada selain hukum Allah baik berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat-buat oleh tokoh-tokohnya, tanpa landasan dari syariat Allah. Sebagaimana keadaan orang-orang jahiliyah yang berhukum dengan kesesatan dan kebodohan yang mereka buat sendiri dengan akal dan hawa nafsu mereka. Seperti juga orang-orang Tatar yang berhukum dengan undang-undang negara yang bersumber dari raja mereka, yaitu Jengiskhan yang membuat hukum bagi mereka dengan nama “al-Yasiq”. Dan “al-Yasiq” merupakan sebuah kitab hasil kolaborasi dari beberapa syariat, seperti Yahudi, Nashara, Islam dan selainnya, dan banyak juga yang merupakan hasil pemikiran dan hawa nafsunya. Maka hal itu menjadi syariat yang diikuti oleh keturunannya, mereka mengutamakannya (menganggapnya lebih baik) dari pada hukum Allah dan Rasul-Nya `.Barangsiapa diantara mereka yang melakukan hal tersebut, maka dia kafir, dan wajib untuk diperangi, sampai dia mau kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya dan tidak berhukum sedikitpun dengan selainnya…”
[Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim 2/93-94]
20. Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah (wafat 792 H) : “Di sini ada perkara yang harus kita pahami dengan benar. Yaitu bahwa berhukum dengan selain apa yang Allah turun-kan bisa menyebabkan seseorang menjadi kafir yang mengeluarkan dari agama, bisa jadi pula merupakan kemaksiatan besar (dosa besar), atau bisa pula dosa kecil. Dikatakan sebagai kekufuran, bisa jadi karena makna kiyas), bisa jadi kufur kecil sesuai dengan dua pendapat yang tersebut dalam masalah ini. Yang demikian sesuai dengan keadaan si pelaku. Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan apa yang Allah turunkan adalah tidak wajib, setiap orang bebas memilih, atau melecehkannya dalam keadaan tahu bahwa itu adalah hukum Allah, maka itu adalah kekufuran yang besar. Namun, jika dia tetap meyakini wajibnya berhukum dengan apa yang Allah turunkan dan ilmunya tentang hal tersebut ada, tetapi dia meninggalkannya dalam keadaan mengakui bahwa perbuatan itu perbuatan yang layak mendapatkan balasan, maka ia adalah orang yang bermaksiat. Dinamakan kafir dengan makna kiyas atau kufur kecil. Adapun jika dia tidak mengerti tentang hukum Allah dalam keadaan telah berusaha dan mengeluarkan segenap ke mampuannya untuk mengenali hukum tersebut namun dia keliru, maka dia adalah seorang yang keliru yang mendapatkan pahala atas usahanya dan kesalahannya diampuni.” [Syarh Aqidah ath-Thahawiyah 323-324]
21. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat 1376 H) : “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195). Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu ‘Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil -pen) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil -pen).Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman -pen) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 196]
22. syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahulah (wafat 1393 H) : “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kedzaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman.” [Adhwa-ul Bayan, 2/104]
23. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah (wafat 1420 H) : “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4.) Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan.
Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya. Tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar. (Al-Hukmu Bighairima’anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al-Uraini hal. 21-22).
24. syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah (wafat 1421 H) :  “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allahkarena meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam.
Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di atasnya. Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling darinya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allahnamun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.
Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan duniamaka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya.
Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–.
Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin.//Ahmad fuadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar