Jumat, 22 Agustus 2014





ULAMA:

Kata ‘alim dalam al-Qur’an terulang sebanyak 106 kali, namun kata ulama tersebut dalam al-Qur’an hanya dua kali saja.
Pertama,dalam konteks ajakan al-Qur’an untuk memperhatikan turunnya hujan dari langit, gunung-gunung dan beraneka ragam jenis dan warna buah-buahan, hewan dan manusia, yaitu Q.S. Fatir: 28:
(وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ) (فاطر : 28 )
“dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Maka yang dimaksud dengan ulama dalam ayat di atas ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah, yakni mereka yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah (Sains atau alam semesta). Karena di dalam al-Qur’an itu sendiri terdapat banyak anjuran yang mengajak manusia untuk menghayati alam semesta.[2]Alam semesta adalah ciptaan Allah yang –karena keteraturan system dan kehebatan yang dimilikinya- mengandung hikmah yang luar biasa. Di balik kesempurnaan hukum alam semesta, terdapat bukti kekuasaan sang Pencipta. Maka dengan menyelidiki alam semesta, manusia akan semakin sadar dan insyaf akan kebesaran Tuhunnya dan semakin besar keinginannya untuk selalu dekat dengan-Nya.[3] Maka membaca dan memahami ayat-ayat al-Qur’an itu, di samping ayat-ayat Qauliyah (teks al-Qur’an), Allah juga menciptakan alam semesta ini sebagai ayat-ayat Kauniyah (teks/tanda alam semesta) yang keduanya saling melengkapi. Oleh karena itu, istilah ulama dalam bahasa Arab modern juga berarti para cendekiawan dalam salah satu bidang sains dan teknologi.
Ibn Katsir (w. 774 H) menafsiri ayat di atas pada teks { إنما يخشى الله من عباده العلماء } sebagai berikut[4]:
{ إنما يخشى الله من عباده العلماء } أي إنما يخشاه حق خشيته العلماء العارفون به لأنه كلما كانت المعرفة للعظيم القدير العليم الموصوف بصفات الكمال المنعوت بالأسماء الحسنى كلما كانت المعرفة به أتم والعلم به أكمل كانت الخشية له أعظم وأكثر . قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس في قوله تعالى : { إنما يخشى الله من عباده العلماء } قال : الذين يعلمون أن الله على كل شيء قدير وقال ابن لهيعة عن ابن أبي عمرة عن عكرمة عن ابن عباس قال : العالم بالرحمن من عباده من لم يشرك به شيئا وأحل حلاله وحرم حرامه وحفظ وصيته وأيقن أنه ملاقيه ومحاسب بعمله وقال سعيد بن جبير : الخشية هي التي تحول بينك وبين معصية الله عز وجل وقال الحسن البصري : العالم من خشي الرحمن بالغيب ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله فيه ثم تلا الحسن { إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور{وعن ابن مسعود رضي الله عنه أنه قال : ليس العلم عن كثرة الحديث ولكن العلم عن كثرة الخشية وقال أحمد بن صالح المصري عن ابن وهب عن مالك قال : إن العلم ليس بكثرة الرواية وإنما العلم نور يجعله الله في القلب قال أحمد بن صالح المصري : معناه أن الخشية لا تدرك بكثرة الرواية وإنما العلم الذي فرض الله عز وجل أن يتبع فإنما هو الكتاب والسنة وما جاء عن الصحابة رضي الله عنهم ومن بعدهم من أئمة المسلمين فهذا لا يدرك إلا بالرواية ويكون تأويل قوله : نور يريد به فهم العلم ومعرفة معانيه وقال سفيان الثوري عن أبي حيان التيمي عن رجل قال : كان يقال العلماء ثلاثة : عالم بالله عالم بأمر الله وعالم بالله ليس بعالم بأمر الله وعالم بأمر الله ليس بعالم بالله فالعالم بالله وبأمر الله الذي يخشى الله تعالى ويعلم الحدود والفرائض والعالم بالله ليس بعالم بأمر الله الذي يخشى الله ولا يعلم الحدود ولا الفرائض والعالم بأمر الله ليس العالم بالله الذي يعلم الحدود والفرائض ولا يخشى الله عز وجل

“{Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama}, maksudnya hanyalah ulama yang ‘arif billah yang benar-benar takut pada-Nya, karena sesungguhnya ketika ma’rifat pada zat yang maha agung, berkuasa, mengetahui dan semua sifat-sifat baik itu semakin sempurna dan pengetahuan tentang-Nya juga semakin sempurna, maka khasyyah (takut) pada-Nya juga semakin besar dan banyak. Ali Ibn Abu Tolhah meriwayatkan maksud ayat di atas dari Ibn Abbas ra, yaitu ulama yang dimaksud adalah orang-orang yang yakin bahwa Allah maha berkuasa atas segala sesuatu. Berkata Ibn Abu Lahi’ah dari Ibn Abu ‘Umrah dari ‘Ikrimah dari Ibn Abbas: Orang yang alim dengan Allah adalah orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, menghalalkan yang dihalalkan-Nya, mengharamkan yang diharamkan-Nya, menjaga wasiat-Nya serta yakin bahwa ia akan bertemu dengan-Nya untuk menghisab semua amal perbuatannya. Berkata Sa’id Ibn Jubair: al-Khasyyah adalah sesuatu yang bisa menjauhkan dari maksiat pada Allah SWT. al-Hasan al-Bashri berkata: Orang yang alim adalah orang yang takut pada Allah yang tidak dilihatnya, senang dengan apa yang di senangi-Nya dan menjauhi diri dari apa yang dibenci-Nya lantas al-Hasan membacakan ayat di atas. Ibn Mas’ud ra berkata: ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya meriwayatkan Hadits, tapi dengan banyaknya al-Khasyyah. Berkata Ahmad Ibn Saleh al-Mashri dari Ibn Wahb dari Malik: ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tapi dengan adanya nur yang Allah letakan dalam qolb. Lalu Ahmad Ibn Saleh al-Mashri memberi penjelasan; artinya bahwa al-Khasyyah itu tidak bisa dihasilkan semata dengan banyaknya riwayat, karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu yang diwajibkan itu terkait dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan apa-apa yang datang dari para Sahabat serta para Imam itu hanya bisa didapat dengan cara periwayatan. Maka takwil makna Nur adalah pemahaman ilmu dan mengerti makna-maknanya. Berkata Sufyan al-Tsauri dari Abu Hayan al-Taimi dari seorang ulama yang berkata bahwa ulama itu dibagi tiga macam, yaitu: 1) Alim bi Allah dan bi amr Allah, 2) Alim bi Allah, tapi tidak alim bi amr Allah dan 3) Alim bi Amr Allah, tapi tidak alim bi Allah. Dan kelompok pertama itulah tipikal ulama yang khasyyah pada Allah juga mengerti akan hudud (batasan-batasan) dan faraidl (kefardluan)[5]. Adapun kelompok kedua adalah tipikal ulama yang punya khasyyah tapi tidak mengerti hudud dan faraidl. Sedangkan kelompok ketiga adalah tipikal ulama yang mengerti hudud dan faraidl tapi tidak punya khasyyah pada Allah SWT.”
Kedua, dalam konteks membicarakan tentang kebenaran al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi yang telah lama diketahui oleh ulama Bani Israil, yaitu Q.S. al-Syu’ara: 197:
(أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ) (الشعراء : 197 )
dan Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Para ulama Bani Israil mengetahuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar