ULAMA DUNIA:Rindu pada Allah swt.Malam ini menyenangkan. Pertemuan dalam ruang di mana ekspresi pikiran dan spiritual bisa berkelana ke mana ia suka, membuat hidup jadi bergairah dalam pendar-pendar cahaya. Tetapi ini mungkin sejenak saja. Sebab di ruang lain setelah ini kita masih menyaksikan, pedang-pedang masih berkeliaran. Pedang-pedang itu siap ditebaskan ke leher siapa saja yang dianggap menghujat Tuhan, sambil berteriak : Tuhan Maha Besar”. Al Hallaj, bilang kepada mereka: “Kalian bohong. Kalian ingin menyaingi Tuhan”. Dan Hallaj ditangkap ramai-ramai.
Al Hallaj adalah ikon mistikus paling
melegenda di jagat raya sufisme. Namanya tak pernah berhenti disebut
orang sepanjang masa, dalam nada puja-puji yang memabukkan maupun sumpah
serapah dan dendam kesumat yang tak pernah selesai. Cerita tentang
orang besar ini sarat dengan beragam mitos dan dongeng-dongeng yang
memesona sekaligus merobek-robek nurani.
Siapa al Hallaj
Namanya Husain Manshur al Hallaj, lahir
di perkampungan Tur, wilayah Baidha, Fars, Persia, 244 H/858. Dia anak
tukang pemilah benang yang miskin. Kelahirannya amat di dambakan
bertahun dua orang tua yang saleh itu. Hallaj kecil dititipkan keduanya
kepada Syekh Sahl al Tustari (w.238 H), sufi besar pada zamannya, untuk
mengaji kepadanya dan mengabdi kepada Tuhan di masjidnya, memenuhi janji
mereka ketika mendamba bertahun kelahirannya. Ketika Hallaj menyapu di
mihrab, dia menemukan secarik kertas kewalian gurunya, yang konon, turun
dari langit. Diam-diam Hallaj menelannya, mengambil keberkatan. Tak
lama, dia menjadi aneh, ia sering bergumam sendiri.
Dalam usia 12 tahun dia hafal al-Qur’an
seluruh, dia juga mengaji beragam keilmuan tradisional Islam kepada
sejumlah guru di Wasit, sebuah kota dekat Ahwaz. Usai ngaji di
kampungnya, dia pergi ke Bagdad, untuk meneruskan mengaji pada sufi
otoritatif: Abu al Qasim Al Junaed (w.298 H), Amir al Makki (w. 291) dan
guru yang lain. Ketika Hallaj 20 tahun, dia ditahbiskan sebagai guru
dalam Tasawuf. Tak lama ke kemudian dia ke Makkah untuk haji. Di kota
suci ini, pergulatannya dengan dunia sufisme semakin intens. Otoritasnya
di bidang ini semakin menonjol. Pada saat berada Arafat, dia mendaki
sendiri sampai puncak gunung itu, lalu berdo’a :
يا دليل المتحيرين زدنى تحيرا. وإذا كنت كافرا فزدنى كفرا.
“Oh, Tuhanku, Pembimbing Orang-orang
bingung. Tambahi kebingunganku. Jika aku kafir, maka tambahi
kekafiranku”. (Louis Massignon, Alaam al Hallaj, hlm. 213).
Kelak di kemudian hari di suatu tempat dia bilang lagi untuk menegaskan bahwa keinginan tersebut dikabulkan Tuhan:
كفرت بدين الله والكفر واجب علي وعند المسلمين قبيح
Aku mengkafiri agama Tuhan
Kekufuran bagiku adalah wajib
Meski bagi banyak muslim amatlah buruk
(Diwan, Yatama 2)
Kekufuran bagiku adalah wajib
Meski bagi banyak muslim amatlah buruk
(Diwan, Yatama 2)
Hallaj kembali ke Baghdad, mendiskusikan
berbagai problem dan isu krusial sufisme, dengan Syeikh Junaed, Abu
Bakar al Syibli dan sejumlah sufi besar lainnya. Dia selalu tak puas.
Pikiran-pikirannya semakin radikal, melawan mainstream, tapi semakin
matang. Dia lalu kembali ke kampungnya untuk tak berhenti mencari Tuhan
dan dia menemukan-Nya di dalam rumah hatinya sendiri. Baju sufi
ditanggalkannya dan menggantinya dengan baju tentara, kadang baju
robek-lusuh, biar lebih bebas dan tak dikenal saleh. Sesudah itu namanya
disebut secara popular sebagai Hallaj al Asrar (Hallaj, sang pemilik
rahasia-rahasia). Hallaj kembali ke Makkah, di samping untuk haji lagi
juga terus mencari mengerti tentang eksistensi diri di bumi Nabi, tempat
beliau mengajarkan Tauhid (Kemahaesaan Tuhan). Al Hallaj lagi-lagi tak
puas. Ia lantas berkelana ke berbagai negeri di Timur Tengah dan sampai
ke India dan Cina. Di berbagai tempat itu, yang dijalaninya selama lima
tahun, dia memperoleh banyak sekali pengetahuan eksoterik, terutama
esoterik. Entah sesudah atau di antara pengembaraan itu, dia ke Makkah
lagi.
Dari perjalanan ini dia mulai tampil
dengan gagasan-gagasan sufismenya yang menggemparkan. Dia sebarkan
gagasan itu secara terbuka dan segera mengundang resistensi dan reaksi
kebingungan dan kemarahan publik. Ucapan-ucapan Cintanya kepada Tuhan
semakin tak dimengerti halayak. Dia semakin “gila”. Tetapi dalam waktu
yang sama nyawanya terancam oleh pikiran publik yang tak paham. Dia
dicacimaki sebagai tukang sihir dan orang gila. Tetapi sebagian lain
melihatnya sebagai pribadi memesona, nyentrik, yang menebarkan
keramat dan keberkatan. Dialah Waliyullah, kekasih Tuhan. Al Hallaj tak
peduli dengan semuanya. Dia menuliskan dan menggumamkan seluruh
kegelisahan dan keriangan batinnya yang meluap-luap itu kapan saja.
Setiap malam, ketika senyap, dia mendesahkan elegi yang mengiris nurani.
ألا يا ليل محبوبى تجلى ألا يا ليل للغفران هلا
الا يا ليل ما ابهى واحلى ألا يا ليل اكرمنى وجلى
ألا يا ليل فى الحضرة سقانى ألا يا ليل من خمر الدنان
O, malam, Kekasihku datang
O, malam, pengampunan telah datang
O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku
O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang
O, malam, Kekasih menuangkan minuman
Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan
O, malam, pengampunan telah datang
O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku
O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang
O, malam, Kekasih menuangkan minuman
Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan
Gagasan-Gagasan Hallaj: Hulul
Al Hallaj terus menyimpan rindu-dendam
dan berhari-hari mabuk kasmaran. Kekasihnya datang berkunjung, lalu
menyeruak, merasuk ke dalam dan menempati hatinya. Orang menyebut proses
merasuk dari atas ke bawah sebagai “Hulul”. Sejak itu hari-harinya
disibukkan dengan pertemuan-pertemuan manis, mesra dan menghanyutkan
dengan Tuhan di ruang yang tak bertempat. Katanya, suatu saat, masih
dalam sunyi-menyergap:
رأيت ربى بعين قلبى فقلت من أنت قال أنت
فليس للاين منك أين وليس أين بحيث انت
Aku melihat Tuhanku dengan mata hati
Aku bertanya; Siapa Engkau. Dia katakan : Kamu
Tak ada dari-Mu dimana
Dan tak ada di mana bagimu
(Diwan, Qashidah 10)
Aku bertanya; Siapa Engkau. Dia katakan : Kamu
Tak ada dari-Mu dimana
Dan tak ada di mana bagimu
(Diwan, Qashidah 10)
انا من اهوى ومن اهوى انا نحن روحان حللنا بدنا
فإذا ابصرتنى ابصرته فإذا أبصرته ابصرتنا
Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
مزجت روحك فى روحى كما تمزج الخمرة بالماء الزلال
فإذا مسك شيئ مسنى فإذا انت انا فى كل حال
Ruh-Mu menyerap dalam ruhku
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)
Ittihad : Akulah Kebenaran
Ketika Sang Kekasih pergi, Al Hallaj menulis berbaris-baris puisi Kerinduan (al ‘Isyq)
yang mencengkeram amat kuat dalam dirinya dan dalam ekstase-aktase yang
sering. Dia senandungkan puisi-puisi Rindu Kekasih itu di pasar-pasar,
di warung-warung, di surau-surau dan di kerumunan-kerumunan. Hari-hari
kemarin Hallaj merasa Tuhan berkunjung ke rumahnya dan menempati seluruh
ruang eksistensinya. Dan kini dia ingin menyambutnya dengan riang lalu
menjemput-Nya di Langit dan manapun Dia Berada. Hallaj ingin selalu
bersama-Nya, menyatu dalam “Tubuh-Nya”. Sufi menyebut proses merasuk dan
menubuh dari bawah ke atas sebagai Ittihad. Dalam puncak ekstase yang melayang-layang dia berteriak keras: “Ana al Haq” (Akulah
Kebenaran). Kata-kata ini mengguncang dan menggetarkan jagat raya
manusia. Sahl al Tustari, Junaed dan Syibli sahabatnya, terpana dan
shock berat. Oh, Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu
kepada publik semacam itu. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati
kita?.
Gagasan Pluralisme
Pikiran dan pengalaman Hulul, Ittihad atau Wahdah al Wujud
tak pelak melahirkan gagasan Pluralisme agama-agama. Itu keniscayaan.
Baginya semua agama adalah sama. Para pemeluk agama tak pernah berhenti
mencari Sang Realitas, melalui beragam jalan, berbagai nama. Abd Allah
bin Thahir al Uzdi menceritakan: “Aku bertengkar dengan seorang Yahudi
di sebuah pasar di Baghdad. Kepada si Yahudi itu aku sempat bilang: Hai
anjing!. Tak dinyana Husain bin Manshur lewat dan memandangku dengan
wajah marah. Katanya ; “hentikan anjingmu menyalak”, lalu pergi. Begitu
kami usai bertengkar, aku menemuinya dan minta maaf. Husain mengatakan:
“Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya
bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci
orang lain dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya
sendiri. Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah
sebutan-sebutan dan nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak
berbeda dan tidak berubah”. “Dia kemudian berceloteh bait-bait puisi
ini”:
تفكرت فى الاديان جد تحقق فألفيتها اصلا له شعبا جما
فلا تطلبن للمرء دينا فإنه يصد عن الاصل الوثيق وانما
يطالبه اصل يعبر عنده جميع المعالى والمعانى فيفهما
Sungguh, aku tlah merenung panjang agama-agama
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau paksa orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna
Lalu dia akan mengerti
(Diwan, 50)
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau paksa orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna
Lalu dia akan mengerti
(Diwan, 50)
Pandangan Pluralisme Agama, diucapkan
oleh siapa saja, Husain Manshur Hallaj atau yang lain, menggambarkan
manifesto kebebasan beragama, dan tentu saja merupakan ekspresi Islami
yang essensial yang melampaui perbedaan-perbedaan sektarian antara
Sunny-Syi’ah dan antara sekte-sekte yang lain. Keanekaragaman individu
dengan sifat kualitatif dan kepercayaan yang berbeda-beda akan
senantiasa eksis di manapun dan kapanpun, dan tak bisa dilepaskan,
dengan cara apapun dan oleh siapapun, dari bingkai raksasa semesta
ciptaan Tuhan.
Eksekusi; Tragedi
Para penguasa pengetahuan keagamaan
eksoterik, literal, konservatif dan ortodoks: para ahli fiqh dari segala
aliran, para ahli hadits, terutama kelompok Hanbalian dan para teolog,
meradang dan marah luar biasa. Demonstrasi besar-besaran berlangsung di
mana-mana, di seluruh negeri. Puluhan otoritas agama eksoterik itu
menghimpun tandatangan dan berebut membubuhkannya, menuntut kematiannya.
Mereka mengeluarkan fatwa: “Bunuh dia, Darahnya Halal ditumpahkan”.
Hallaj, keluarga dan para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan di
penjara. Peradilan terhadapnya kemudian digelar. Para jaksa menuduhnya
dengan “telah melakukan kejahatan berlapis”. Secara politik dia dia
dianggap agen gerakan Qaramit, salah satu sekte Syi’ah Ismaili, sayap
garis keras dan brutal. Gerakan Politik di bawah pimpinan Hamdan al
Qarmathi ini telah lama menentang kekuasaan dinasti Abbasiah dan
berusaha menggulingkannya. Mereka acap melakukan pemberontakan di
mana-mana. Secara agama al Hallaj dituduh tukang sihir dan zindiq
(Atheis). Pembelaan yang cerdas dan jujur tak mampu melawan tekanan masa
emosional dan represi politik pencitraan. Pengadilan akhirnya
menjatuhkan vonis: Husain Manshur al Hallaj dihukum mati. Kekuasaan
politik mendukung putusan ini. Khalifah Al Muqtadir Billah menandatangi
vonis itu. Al Hallaj tak gentar dengan putusan ini. Dia sudah mengetahui
dan sudah lama menginginkan kematian seperti ini. Meski gurunya Syeikh
al Junaed memberi nasehat, dia tak surut, tak bergeming. Dia dengan
lugas mengatakan :
وان قتلت او صلبت او قطعت يداى ورجلاى لما رجعت عن دعواى
“Biar pun aku dibunuh atau disalib atau dua tangan dan kakiku dipenggal, aku tak surut untuk mendakwahkan kebenaranku”.
Tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati
dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan
tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar
menggelegar. Sejumlah ulama Fiqh, Hadits dan Kalam menjadi saksi. Faqih
literalis ekstrim sekaligus orang yang paling bertanggungjawab atas
fatwa mati dan pengadilan Hallaj: Muhammad bin Daud (w. 297 H), pendiri
mazhab fiqh Zhahiri, berdiri paling depan. Sejumlah sufi besar juga
hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda,
menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka, untuk menyebut
beberapa saja, adalah Abu al Qasim Al Junaed, Abu Bakar al Syibli (w.
334), Ibrahim bin Fatik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang
selalu menemani Hallaj di penjara.
Tak jelas bentuk hukuman mati untuk
Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah
kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Tetapi beberapa
menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, Hallaj
dengan riang, seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke
langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya. Dia
menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum
nafasnya pergi.
“Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu
telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan
untuk lebih dekat dengan-Mu. O. Tuhan, ampuni dan kasihi mereka. Andai
saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana
Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini
kepadaku. Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku,
sebagaimana Engkau menurunkannya dari mereka, niscaya aku tak akan diuji
seperti ini. Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau
lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau
kehendaki”.
Setelah itu dia bergumam lirih:
اقتلونى يا ثقاتى إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات
Bunuhlah aku, O, Kasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Diwan, Qasidah 10)
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Diwan, Qasidah 10)
Suasana senyap. Hallaj diam. Abu al
Harits al Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh,
mendekati Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu
keras hingga darah mengaliri jubahnya. Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan: ”Ilahi, Ashbahtu fi manzilah al Raghaib” (Tuhanku kini aku telah berada di Rumah Idaman).
Masih dalam sungkem, Hallaj, menyenandungkan puisi rindu:
Aku menangis kepada-Mu
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukan-Mu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepada-Mu
Akulah Saksi Keabadian
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukan-Mu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepada-Mu
Akulah Saksi Keabadian
Begitu kepalanya terpenggal (atau
terkulai) dan tubuhnya jatuh ke tanah atau diturunkan dari tiang salib,
suara kegembiraan bergemuruh, membahana dan membelah langit: “Allah
Akbar. Semua ini untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin”. Tak cukup puas
dengan itu, menurut satu cerita, potongan kepala disiram minyak lalu
dibakar. Lidahnya dipotong dan matanya dicungkil. Takbir terus menggema,
bertalu-talu. Esoknya, abu dari tubuh jenazahnya ditaburkan ke udara
dari puncak menara sungai Dajlah (Tigris), sementara kepala dan dua
tangannya digantung di tembok penjara.
Kisah tragedi kematian mistikus besar ini disampaikan berbagai sumber dengan beragam nuansa mitologis dan dongeng (Asthurah).
Sebagian cerita yang berkembang kemudian: “al Hallaj tidak mati. Dia
naik ke langit seperti Isa dan akan kembali ke bumi, seperti Isa”,
“Sungai Tigris subur-makmur berkat abu al Hallaj”. Konon, pada hari
ketiga kematian Hallaj, Tigris memuntahkan kemarahannya dengan
menenggelamkan bumi Baghdad. Pesan Hallaj sebelum mati kepada adiknya
agar menghentikan bah dahsyat itu.
Kuburannya di Bagdad sampai hari ini,
menjadi tempat ziarah paling ramai dikunjungi beribu orang tiap hari
dari berbagai penjuru bumi.
Karya Al Hallaj
Al Hallaj, konon, sesungguhnya telah
menulis banyak karangan. Sebagian orang menyebut angka sekitar 40 an.
Tetapi semuanya dibakar oleh penguasa Dinasti Abbasiyah. Buku-buku
Hallaj dilarang keras. Mereka yang menyimpannya dihukum. Meski begitu
sebagian orang menyimpannya secara diam-diam. Beberapa waktu kemudian
sebuah manuskrip berjudul Al Thawasin ditemukan. Ini mungkin satu-satunya karya Al Hallaj yang selamat. Selain Al Thawasin, ada Diwan al Hallaj,
berisi kumpulan cuplikan puisi-puisi atau kasidah-kasidahnya yang
berhasil dihimpun dari berbagai orang, dan pengikutnya dari berbagai
sumber. Diwan, kata Massignon, pertamakali ditemukan oleh Al Qusyairi,
di perpusatakaan Sullami. Sebagian puisi terdapat pada Al Thawasin.
Sampai di sini saya dan seharusnya kaum
muslimin merasa berhutang budi dan berterimakasih kepada Louis
Massignon, orang yang dengan amat tekun dan tak kenal lelah mencari dan
meneliti manskrip-manuskrip (makhthuthat) tulisan al Hallaj
ini. Tanpa kerja keras intelektualnya yang luar biasa, orang besar ini :
Husain Manshur al Hallaj, berikut tulisan-tulisan tangannya, terutama al Thawasin dan Diwan,
mungkin tak dikenali sampai hari ini. Boleh jadi seluruh tulisan orang
mengenai Hallaj, akan selalu mengacu pada karya Masignon ini.
Al Thawasin, karya utama al
Hallaj, berisi kumpulan narasi pemikiran dan keyakinan-keyakinannya yang
ditulis dalam bentangan waktu hidupnya yang berbeda. Thawasin berisi 11
teks: 1. Thasin al Siraj. Menurut Ruzbihan Baqli, Thasin al
Siraj berarti Lampu Al Musthafa (Nabi Muhammad), berisi pandangan Hallaj
tentang Hakikat Muhammadiyyah. Tha dan Sin kependekan dari Thaha dan
Yasin, dua panggilan nabi Muhammad. 2. Thasin al Fahm (pemahaman).3. Thasin al Shafa (Kebeningan), 4. Thasin al Dairah (Sirkuit), 5. Thasin al Nuqthah (Titik), 6. Thasin al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan Derita Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan pemahaman), 7. Thasin al Masyi-ah (Kehendak), 8. Thasin al Tauhid (Keesaan), 9. Thasin al Asrar fi al Tauhid (Rahasia-rahasia dalam Keesaan), 10. Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan), dan 11. Thasin Bustan al Ma’rifah (Taman Pengetahuan/Ma’rifat).
Memaknai gagasan Al Hallaj
Kehidupan al Hallaj, adalah perjalanan
spiritualitas yang total. Sehari-hari dia menggumamkan kerinduannya yang
mencekam, menggetarkan dan menenggelamkan eksistensinya ke dalam Tuhan,
baik melalui Tuhan yang turun ke dalam hatinya (Hulul), maupun ruhnya yang naik menyatu dengan-Nya (Ittihad) dan kesaksian atas kesatuan semesta (Wihdah al Wujud).
Al Hallaj menempuhnya melalui pengembaraan di belantara realitas,
penjelajahan semesta dan pendakian yang tertatih-tatih dan
terkantuk-kantuk. Tetapi juga keriangan, keindahan dan pesona-pesona.
Lihat, ketika dia bicara ini :
سكوت ثم صمت ثم خرس وعلم ثم وجد ثم رمس
وطين ثم نار ثم نور وبرد ثم ظل ثم شمس
وحزن ثم سهل ثم فقر ونهر ثم بحر ثم يبس
وسكر ثم صحو ثم شوق وقرب ثم وفر ثم أنس
وقبض ثم بسط ثم محو وفرق ثم جمع ثم طمس
وأخذ ثم رد ثم جذب ووصف ثم كشف ثم لبس
(ديوان الحلاج 4)
Diam, hening, bisu, mengetahui, menemukan lalu tenggelam
Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari
Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering
Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman
Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap
penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju
(Diwan Qasidah 4: Perjalanan)
Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari
Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering
Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman
Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap
penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju
(Diwan Qasidah 4: Perjalanan)
Deklarasi al Hallaj yang monumental, yang menggetarkan: “Ana al Haq”(Akulah
Kebenaran/Tuhan), memperoleh response dan tafsir yang beragam. Jalal al
Din al Rumi bilang: “Banyak orang menganggap ini ucapan amat berbahaya.
Tetapi sejatinya ia adalah puncak kerendah-hatian (tawadhu’). Jika dia
mengatakan :”Aku hamba Kebenaran (Ana Abd al Haq), dia telah menetapkan dua entitas, Dualitas; dirinya dan Tuhan. Jika dia mengatakan : “Ana al Haq”, dia telah meniadakan dirinya dan menyerahkannya kepada angin. Ucapan “Ana al Haq” sama dengan “Ana ‘adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa al Kulliyyah). Tak ada Eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai-an”(Aku bukanlah apa-apa). Inilah kerendah-hatian yang paling tinggi (Hadza al Tawadhu’ A’zham)”. (Fihi ma Fihi, Pasal 11: “Perlihatkan kepadaku segala hal”, h. 84).
Sufi lain bilang : Ketika al Hallaj
berteriak :”Akulah Kebenaran”, dia adalah terompet yang ditiup oleh
nafas Tuhan”. Yang lain bilang : “Dia juru bicara jiwa ketuhanan melalui
lidah kemanusiaan”. Yang lain lagi bilang ;”Aku di situ, bukan
kehampaan murni, melainkan sebagai penyucian diri yang ditarik menuju
bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi dan akhirnya melebur dalam Tuhan
yang dalam ucapan Husain al Nuri (w.295 H/908 M):”terbentuk dalam
sifat-sifat Tuhan”(al Takhalluq bi Akhlaq Allah). Nabi menganjurkan : “Takhallaqu bi Akhlaq Allah”(Berakhlak-lah dengan Akhlaq Tuhan/pakailah etika Tuhan). Dll.
Gagasan Kemanunggalan atau Kesatuan
Eksistensi Semesta, bukan hanya milik al Hallaj. Hampir semua sufi besar
yang tercerahkan bicara tentang gagasan ini. Abu Bakar al Syibli
bilang: “Akulah Sang Waktu”, Abu Yazid al Bisthami berucap :”O, Betapa
Maha Sucinya Aku”. Ibnu Arabi mengatakan : “Seorang sufi melihat Allah
dalam Ka’bah, dalam Masjid, dalam Gereja dalam Kuil”. Syibli, sahabatnya
yang hadir saat eksekusi Hallaj, membisikkan kepada temannya: “Hallaj
dan Aku memiliki kepercayaan yang sama, tapi kegilaanku menyelamatkan
diriku, sedangkan kecerdasan telah menghancurkan dirinya”
Para mistikus besar bicara tentang Kesatuan Eksistensi (Wahdah al Wujud)
di atas. Bagi para bijakbestari itu, di alam semesta ini hanya ada
Dia, karena seluruhnya hancur dan tak bermakna. Ini digambarkan oleh Abd
Wahab al Sya’rani (w. 973), sufi besar lain, dalam bait-bait puisi ini :
وكل ما سواه نجم آفل بل فى شهود العارفين باطل
فليس إلا الله والمظاهر لجملة الاسماء وهو الظاهر
فغيره فى الكون لا يقال لانه فى ذاته محا ل
Seluruhnya, selain Dia adalah bintang yang lenyap
Dalam mata para bijakbestari ia adalah ketiadaan
Tak ada apapun, kecuali Allah
Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,
Yang tampak hanyalah Dia
Selain Dia, dalam semesta, tak berarti
Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud
(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).
Dalam mata para bijakbestari ia adalah ketiadaan
Tak ada apapun, kecuali Allah
Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,
Yang tampak hanyalah Dia
Selain Dia, dalam semesta, tak berarti
Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud
(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).
Menggoncangkan Otoritas Mapan
Para sufi besar adalah pribadi-pribadi
tulus dengan pikiran-pikiran yang mengundang daya tarik yang luar biasa
bagi rakyat. Mereka adalah para reformer sejati. Pandangan-pandangan dan
sikap-sikap mereka sangat kritis terhadap kehidupan glamor dan korup
para penguasa atas nama rakyat. Para sufi menekankan pelayanan
masyarakat, kebersahajaan, ketulusan, kebersihan hati, toleransi yang
luas dan mencintai sesama. Cahaya yang mereka pancarkan dari jiwa dan
pikiran yang bersih telah menyedot gairah rakyat yang tertindas di
mana-mana. Dan kata-kata mereka pun sampai. Kehadiran mereka dengan
dukungan besar rakyat jelata yang diam, telah menggoyahkan kemapanan
status quo. Kekuasaan politik beralih ke arah mereka. Sementara itu,
ketika banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan
baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari Essensi yang
esoteris dan ingin bersembunyi di tanah tak dikenal. Ketika banyak orang
manggut-manggut di depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum
sufi tak menjunjung tinggi-besar apapun kecuali Sang Essensi. Tak pelak,
seluruh pikiran dan gerak mereka seperti itu mengancam sekaligus
meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha perkasa : otoritas politik
(struktral) dan otoritas keagamaan (kultural).
Karuan saja, otoritas-otoritas
tersebut lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk menyingkirkan,
mengkerangkeng dan melenyapkan para mistikus itu, dengan berbagai cara.
Sejumlah sufi yang sudah disebut, dan masih banyak lagi yang lain,
mengalami nestapa sebagaimana atau serupa al Hallaj. Murid dan pembela
Al Hallaj paling gigih, ‘Ain Qudhat al Hamdani, misalnya, mengalami hal
serupa dengan guru dan pujaannya itu. Dia, (w. 1130 M), dihukum mati
tepat di pintu sekolah tempat dia mengajar. Tubuhnya dibungkus kain dan
dibakar. Abunya ditaburkan ke udara.
Imam Jalal al Suyuti, salah satu pembela Ibnu Arabi yang gigih, mengatakan : “Ma Kana Kabirun fi ‘Ashr Illa Kana Lahu ‘Aduwn min al Safalah”(Orang besar dalam sejarah selalu punya musuh orang-orang bodoh).
وقلوب وددكم تشتاقكم والى لذيذ لقائكم ترتاح
Hati dan jiwa pencintamu merinduimu
Kelezatan bertemu engkau
O, betapa damai
Kelezatan bertemu engkau
O, betapa damai
Semoga Allah memberkati dan membagi mereka kegembiraan Amin....//Ahmad fuadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar