Kebaikan seseorang.
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ
يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (107)
Artinya:
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (10: 107)
Ayat ini berbicara tentang anugerah kebaikan dan keburukan yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Ayat ini mengatakan, "Segala sesuatu berasal dari Allah Swt dan bila Dia telah menetapkan sesuatu, maka manusia tidak kuasa untuk menolaknya. Allah juga memberikan kebaikan hanya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya." Tapi sebagaimana ayat-ayat al-Quran lainnya, keburukan yang diberikan oleh Allah kepada manusia pada dasarnya berasal dari perbuatan manusia itu sendiri, begitu juga dengan kebaikan. Tapi ketika kebaikan atau keburukan, yang merupakan dampak dari perbuatan manusia itu sendiri, telah ditetapkan, maka tidak ada yang dapat mengubahnya.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bila ada keburukan yang menimpa manusia, maka hanya Allah yang dapat menghilangkannya. Hal ini kembali pada kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sementara pada saat yang sama, setiap kebaikan atau keutamaan yang sampai kepada manusia, dalam ayat ini, tidak disebutkan bahwa Allah yang akan menghilangkannya, tapi tentu saja perbuatan manusia itu sendiri yang nantinya akan menghilangkan nikmat itu. Dengan demikian, ayat ini benar-benar menunjukkan kasih sayang Allah dan itu ditekankan lagi di akhir ayat yang berbunyi, "Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kebaikan dan keburukan berasal dari Allah Swt.
2. Setiap kepahitan dalam kehidupan bukan berarti itu adalah keburukan. Karena terkadang kejadian pahit untuk membangkitkan kesadaran kita.
3. Kebaikan yang sampai kepada manusia itu anugerah ilahi, bukan hak manusia.
4. Keinginan Allah senantiasa berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan.
Ayat ke 108
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ
فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا
يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ (108)
Artinya:
Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu". (10: 108)
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini semakin menegaskan bahwa manusia dalam mencari kebenaran bersandarkan pada ikhtiarnya. Oleh karenanya, ketika manusia mendapatkan kebaikan lewat petunjuk wahyu atau akal, maka kebaikan untuk dirinya sendiri. Kebaikan yang diraih dari ikhtiarnya. Sementara mereka yang tidak ingin memilih kebenaran dan lebih menyukai keburukan dan kesesatan, maka kesesatan itu akan mencelakakan dirinya sendiri. Karena kesesatan yang dipilih oleh manusia atas dasar ikhtiar tidak pernah merugikan Allah Swt. Bahkan lebih dari itu, keimanan dan kekufuran manusia tidak membuat Allah beruntung atau merugi. Karena Dia adalah Zat yang Maha Sempurna dan Maha Kaya.
Dari ayat tadi terdapat enam pelajaran yang dapat dipetik:
1. Apa saja yang berasal dari Allah Swt pasti benar.
2. Tujuan dari pengutusan para nabi dan kitab samawi untuk mendidik manusia.
3. Allah telah menyempurnakan hujjahnya dan kita tidak punya alasan lagi di Hari Kiamat, ketika ditanya mengapa tidak beriman.
4. Allah Swt tidak membutuhkan hidayah yang telah diraih manusia. Karena keuntungan akibat mendapat hidayah atau kerugian karena memilih kesesatan kembali kepada manusia, bukan Allah.
5. Manusia memiliki ikhtiar dan nasib setiap orang berada di tangannya sendiri. Bahkan para nabi tidak berhak untuk memaksa manusia menerima kebenaran.
6. Kewajiban para nabi adalah dakwah dan menyampaikan bukan memaksa orang menerima kebenaran.
Ayat ke 109
وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ (109)
Artinya
Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya. (10: 109)
Sebagai penutup surat Yunus, ayat ini memerintahkan para nabi untuk mengikuti wahyu yang telah diturunkan kepada mereka. Tidak hanya sekadar mengikuti, tapi dalam upaya mengikuti ini harus disertai dengan kesabaran. Bila ada perselisihan, maka semua harus dikembalikan kepada Allah dan Dia yang memutuskan segalanya. Karena Allah adalah Zat yang paling adil dalam menghakimi.
Sekalipun ayat ini berbicara kepada Nabi Muhammad Saw, tapi sebagaimana ayat-ayat sebelumnya, perintah ini juga berlaku bagi umat Islam. Kepada kaum Muslimin diminta untuk mengikuti al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam mengamalkan al-Quran, mereka diminta untuk bersabar, begitu juga ketika muncul perselisihan, maka masalahnya harus dikembalikan kepada Allah Swt dalam bentuk al-Quran. Karena seluruh isi al-Quran memuat kebenaran dan diturunkan dari sisi Allah.
Dari ayat tadi terdapat enam pelajaran yang dapat dipetik:
1. Setiap manusia, baik itu mukmin atau kafir, tetap membutuhkan al-Quran sebagai wahyu yang berisikan perintah-perintah Allah Swt.
2. Para nabi harus diikuti, karena mereka berserah diri atas setiap perintah wahyu.
3. Dalam mengikuti wahyu, manusia membutuhkan kesabaran.
4. Seorang pemimpin harus sabar.
5. Ilmu menjadi syarat dalam beramal dam istiqamah merupakan syarat untuk meraih kemenangan.
6. Kita tidak boleh mengkhawatirkan masa depan. Karena Allah Swt sebagai hakim terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar