Nasehat Ulama Dunia Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr, 30, Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.” (Al-I’tisham, 1/112)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang
dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera,
maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para
ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
“Berhati-hatilah
kamu, jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa’, sedikit
atau pun banyak. Berpeganglah dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah.” (As-Siyar, 11/231)
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
“Berpeganglah
dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan
jauhilah pendapat orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi
perkataannya terhadapmu.” (Asy-Syari’ah hal. 63)
(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)
Introspeksi Diri
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Sesungguhnya
seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya
hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah Subhanahu wa
ta’ala semata.”
“Adalah
hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih
ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka
selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara
yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai
sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya
seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka
dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat
menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan
tetapi demi Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku
kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi
antara aku denganmu’.”
“Dan
(jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera
dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku
maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah,
tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku
tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya
seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an
dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta
berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya
seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha
untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari
sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa
dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang
hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari
dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang
paling diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)
Cinta Dunia Merupakan Dosa Besar
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Tidaklah
aku merasa heran terhadap sesuatu seperti keherananku atas orang yang
tidak menganggap cinta dunia sebagai bagian dari dosa besar.
Demi
Allah! Sungguh, mencintainya benar-benar termasuk dosa yang terbesar.
Dan tidaklah dosa-dosa menjadi bercabang-cabang melainkan karena cinta
dunia. Bukankah sebab disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya
Ar-Rahman tak lain karena cinta dunia dan lebih mengutamakannya? (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 138)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Telah
sampai kepadaku bahwasanya akan datang satu masa kepada umat manusia di
mana pada masa itu hati-hati manusia dipenuhi oleh kecintaan terhadap
dunia, sehingga hati-hati tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut
terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan
itu dapat engkau ketahui apabila engkau memenuhi sebuah kantong kulit
dengan sesuatu hingga penuh, kemudian engkau bermaksud memasukkan barang
lain ke dalamnya namun engkau tidak mendapati tempat untuknya.”
Beliau rahimahullahu berkata pula:
“Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari (cara) penghormatannya kepada ahli dunia.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 120)
Kejelekan-kejelekan Harta
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
‘Isa
bin Maryam ‘alaihissalam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala
kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”
Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”
Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”
Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”
Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”
Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”
Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beliau rahimahullahu berkata:
“Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.”
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”
Beliau menjawab: “Yakni
engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan
engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas
kaki.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)
Sabar Saat Mendapat Musibah
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:
“Kebaikan
yang tiada kejelekan padanya adalah bersyukur ketika sehat wal afiat,
serta bersabar ketika diuji dengan musibah. Betapa banyak manusia yang
dianugerahi berbagai kenikmatan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa
banyak manusia yang ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bersabar
atasnya.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 158)
Beliau rahimahullahu juga berkata:
“Tidaklah
seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan al-hilm
(kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa
musibah.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 62)
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
“Tiga
perkara yang merupakan bagian dari kesabaran; engkau tidak menceritakan
musibah yang tengah menimpamu, tidak pula sakit yang engkau derita,
serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri.” (Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)
Beragam Tujuan dalam Menuntut Ilmu
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah
kalian mempelajari ilmu karena tiga hal: (1) dalam rangka debat kusir
dengan orang-orang bodoh, (2) untuk mendebat para ulama, atau (3)
memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di
sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ucapan dan perbuatan kalian.
Karena, sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu
akan hilang dan pergi.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/45)
Ishaq ibnu Ath-Thiba’ rahimahullahu berkata: Aku mendengar Hammad bin Salamah rahimahullahu berkata: “Barangsiapa
mencari (ilmu, -pen.) hadits untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat makar atasnya.”
Waki’ rahimahullahu berkata:
“Tidaklah
kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut
disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar, yakni
kejujuran niat.”
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu berkata:
“Menuntut
ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat
ditekankan, namun terkadang menjadi sesuatu yang tercela pada sebagian
orang. Seperti halnya seseorang yang menimba ilmu agar dapat berjalan
bersama (disetarakan, -pen.) dengan para ulama, atau supaya dapat
mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata
manusia ke arahnya, atau supaya diagungkan dan dikedepankan, atau dalam
rangka meraih dunia, harta, kedudukan dan jabatan yang tinggi. Ini semua
merupakan salah satu dari tiga golongan manusia yang api neraka
dinyalakan (sebagai balasan, -pen.) bagi mereka.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 10-11, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin
Larangan Berfatwa Tanpa Bimbingan Salafush Shalih
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
“Siapa
saja yang mengatakan sesuatu dengan hawa nafsunya, yang tidak ada
seorang imampun yang mendahuluinya dalam permasalahan tersebut, baik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para sahabat beliau,
maka sungguh dia telah mengadakan perkara baru dalam Islam. Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Barangsiapa
yang mengada-ada atau membuat-buat perkara baru dalam Islam maka baginya
laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat, dan manusia
seluruhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima infaq dan tebusan
apapun darinya’.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata kepada sebagian muridnya:
“Hati-hati
engkau, (jangan, -pen.) mengucapkan satu masalah pun (dalam agama pen.)
yang engkau tidak memiliki imam (salaf, -pen.) dalam masalah tersebut.”
Beliau rahimahullahu juga berkata dalam riwayat Al-Maimuni:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu yang tidak ada imam atasnya, aku khawatir dia akan salah.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata:
“Adapun
para imam dan para ulama ahlul hadits, sungguh mereka semua mengikuti
hadits yang shahih apa adanya bila hadits tersebut diamalkan oleh para
sahabat, generasi sesudah mereka (tabi’in) atau sekelompok dari mereka.
Adapun sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan
maka tidak boleh dikerjakan. Karena sesungguhnya tidaklah mereka
meninggalkannya melainkan atas dasar ilmu bahwa perkara tersebut tidak
(pantas, -pen.) dikerjakan.”
(An-Nubadz Fi Adabi Thalabil ‘Ilmi, hal. 113-115, Penulis : Al-Ustadz Zainul Arifin )
Sebab Hilangnya Agama
Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Jangan
ada dari kalian taklid kepada siapapun dalam perkara agama sehingga
bila ia beriman (kamu) ikut beriman dan bila ia kafir (kamu) ikut pula
kafir. Jika kamu ingin berteladan, ambillah contoh orang-orang yang
telah mati, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah”.
Abdullah bin Ad-Dailamy berkata:
“Sebab
pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya As Sunnah (ajaran
Nabi). Agama ini akan hilang Sunah demi Sunnah sebagaimana lepasnya tali
seutas demi seutas”.
Abdullah bin ‘Athiyah berkata:
“Tidaklah
suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut dari
mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali
kepada mereka sampai hari kiamat”.
Az-Zuhri berkata:
“Ulama
kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan
As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu akan dicabut dengan segera. Tegaknya
ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedangkan hilangnya ilmu maka
hilang pula semuanya”.
Diambil dari kitab Lammudurul Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur yang disusun oleh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsy.
Lakukanlah Hal-hal yang Bermanfaat
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa
beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya)
menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat
baginya.”
‘Umar bin Qais Al-Mula’i rahimahullahu berkata:
“Sseorang
melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang
tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani
Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang
itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan
sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam
berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah
bagi diriku.”
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
“Termasuk
tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam
perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”
Sahl At-Tustari rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”
Ma’ruf rahimahullahu berkata: “Pembicaraan
seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya
merupakan kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuknya).”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)
Orang Yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata:
“Ada
tiga (golongan) yang tidak boleh diambil ilmunya, (yakni): (1)
Seseorang yang tertuduh dengan kedustaan, (2) Ahlul bid’ah yang mengajak
(manusia) kepada kebid’ahannya, dan (3) seseorang yang dirinya
didominasi oleh keraguan serta kesalahan-kesalahan.”
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:
“Tidak
boleh seseorang mengambil ilmu dari empat (jenis manusia) dan boleh
mengambilnya dari selain mereka (yaitu): (1) Ilmu tidak diambil dari
orang-orang bodoh, (2) Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang
menyeru manusia kepada hawa nafsunya, (3) Tidak pula dari seorang
pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia
meskipun tidak tertuduh berdusta pada hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Tidak pula dari seorang syaikh yang
memiliki keutamaan, keshalihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak lagi
mengetahui apa yang tengah dibicarakannya.” (n-Nubadz fi ‘Adab Thalabil ‘Ilmi, hal. 22-23)
Musibah
Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Menangislah
kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian
lebih besar dari dosa-dosa mereka (yang ditimpa musibah, red), maka ada
kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian
perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih
dahsyat dari itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 73)
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi
hamba-Nya yang beriman, sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan
pada keluarganya.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
hal. 111)
“Tidak
ada musibah yang lebih besar dari musibah yang menimpa kita, (di mana)
salah seorang dari kita membaca Al-Qur’an malam dan siang akan tetapi
tidak mengamalkannya, sedangkan semua itu adalah risalah-risalah dari
Rabb kita untuk kita.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 32)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seorang
mukmin itu berbeda dengan orang kafir dengan sebab dia beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang
dikabarkan oleh para Rasul tersebut, menaati segala yang mereka
perintahkan dan mengikuti apa saja yang diridhai dan dicintai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan
takdir-Nya yang berupa kekufuran, kefasikan, dan
kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi (hendaknya) dia ridha terhadap
musibah yang menimpanya bukan terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang
telah dilakukannya. Maka terhadap dosa-dosanya, dia beristighfar (minta
ampun) dan dengan musibah-musibah yang menimpanya dia bersabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar