Selasa, 30 September 2014
Seorang wali haruslah terjaga dari kemaksiatan. Maka barang siapa diakui atau mengaku sebagai wali tetapi tidak menjalankan syara', berarti telah terpedaya
Kewalian dimiliki bersama-sama oleh seluruh kaum beriman, sebagai-mana firman Allah
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." QS Al-Baqarah (2): 257.
sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah, maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj). Dalam Al-Qur'an, istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:
1. Al-istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Kami (Allah) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS Al-A'raf [7]: 182)
Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras berusaha untuk mencapai keduniaan. Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan cahaya) dan derajat ma'rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.
2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam firman Allah:
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A'raf [71: 99)
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali'Imran [31:54)
Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula, sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)
3. Al-kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah,
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-Nisa' [4]: 142)
4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali 'Imran [3]: 178)
5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An'am [6]: 44)
Dan dalam firman Allah tentang Fir'aun,
Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir'aun dan bala tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.
Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah, kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang dimilikinya bukanlah
karamah tetapi istidraj.
Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:
Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32). Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS Al-An'am [6]: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.
Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana mungkin layak untuk senang dan bergembira?
Hujjah ketiga: Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.
Ketika Ustaz Abu 'Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata, "Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya, berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt."
Hujjah keempat: Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima karamah. Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tiada kebanggaan," maksudnya "Aku tidak bangga dengan karamah yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah."
Hujjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal'am begitu menakjubkan, tetapi kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal'am, Ia seperti anjing, dan kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu'ah [62]: 5), juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali 'Imran [3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
Hujjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan. Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu-hnya setiap ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya ia melihat penciptanya.
Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun. Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf [7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang membanggakan diri."
Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.
Hujjah kesembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan ('ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai peng-
hormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra' [17]: 1)
Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya. Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.
Berguru kepada penghuni alam lain, Di antara mereka ber-tajassud kepadaku di bumi,
yang lainnya ber-tajassud di udara.
Di antara mereka ber-tajassud di manapun aku berada,
yang lainnya ber-tajassud di langit.
Mereka mengajariku dan aku pun mengajarinya.
Namun, keberadaanku tidak sama.
Aku tetap di dalam entitasku.
Mereka tidak tetap dalam entitasnya.
Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk.
Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna.
ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.
Pertama adalah seorang pencuri. Suatu saat aku tersesat di gurun pasir, dan ketika aku tiba di suatu desa, karena larut malam maka semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang melubangi dinding pada sebuah rumah. Aku bertanya kepadanya dimana aku bisa menginap dan dia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”
Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan! Dan setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.” Ketika dia telah kembali aku bertanya “apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.
Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan di akhir waktu tidak terjadi apapun, begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini. Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”
Guruku yang kedua adalah seekor anjing. Tatkala aku pergi ke sungai karena haus, seekor anjing mendekatiku dan ia juga kehausan. Pada saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada ajing lainnya disana “bayangannya sendiri”, dan ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh. Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi. Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.
Guruku yang ketiga adalah seorang anak kecil. Tatkala aku memasuki sebuah kota dan aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang liling yang menyala. Dia sedang menuju mesjid untuk meletakkan lilinnya disana.
“Sekedar bercanda”, kataku kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang menyalakan lilinnya?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana lilinnya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana lilinnya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada lilinnya?
Anak kecil itu tertawa, lalu menghembuskan lilinnya, dan berkata, “Sekarang tuan telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”
Egoku remuk, seluruh pengetahuanku remuk. Pada saat itu aku menyadari kebodohanku sendiri. Sejak saat itu aku letakkan seluruh ilmu pengetahuanku.
Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon. Seperti itulah aku belajar dari kehidupan. Aku tidak memiliki seorang guru karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber. Menjadi seorang murid adalah sebuah keharusan di jalan sufi. Apa maksud dari menjadi seorang murid? Maksud dari menjadi seorang murid adalah untuk belajar. Bersedia belajar atas apa yang diajarkan oleh kehidupan. Melalui seorang guru engkau akan memulai pembelajaranmu.
Sang guru adalah sebuah kolam dimana engkau bisa belajar bagaimana untuk berenang. Dan tatkala engkau telah mahir berenang, seluruh Samudera adalah milikmu.
Minggu, 28 September 2014
انشودة صلى الله على محمد ماهر زين - YouTube
Dec 2, 2013 - Uploaded by Thika Iyalانشودة صلى الله على محمد ماهر زين: http://youtu.be/f3rt21swblY .... انشودة صلى علي الحبيب ماهر زين by يوسف حسن بارع 64,231 views · 4:37.- More images for صل الله عل محمد
الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم
www.khayma.com/islamroad/islamd3.htm Translate this pageاللهم صل وسلم وبارك على سيدنا ورسولنا وحبيبنا محمد -صلى ...
بالصلاة على سيد الخلق سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم أحيا ...
https://ar-ar.facebook.com/BalslatlySydAlkhlqSydnaM... Translate this pageالحفاظ علي سنة الحبيب محمد صلي الله عليه وسلم | فيس بوك
https://ar-ar.facebook.com/Alhefaz.Ala.Sont.Alhabib Translate this page** ULAMA DUNIA Sholawat.صل الله عل محمد صل الله عل محمد ...
https://plus.google.com/.../posts/jMgooQrcEv... Translate this pageJun 26, 2014 - صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل محمد صل الله عل...
Langganan:
Postingan (Atom)